Berita & Artikel

Pembicara dan Anggota Korste Politeknik Tempo

Korste Ikut Serta dalam Diskusi Terbuka dari Ruang& Tempo Tentang Perempuan di Dunia Jurnalistik


Oleh : Korste
03/05/2025
Bagikan :

Politeknik Tempo - KORSTE, Jakarta — Komunitas Pers Politeknik Tempo(Korste) menghadiri undangan dari Ruang& di lantai delapan gedung Tempo dalam rangka diskusi bertemakan Menjaga Nyala: Jurnalis Perempuan, Kekerasan, dan Perjuangan Kolektif yang bertepatan dengan Hari Pers sedunia. Diskusi kali ini menghadirkan narasumber Francisca Christy Rosana selaku jurnalis yang telah bekerja hampir satu dekade di Tempo.

 

Acara dibuka oleh MC Ruang&, Inge Meivi Fania dan Geovanni dengan mengenalkan Ruang Perempuan dari Open Initiatives Day. Acara dibuka oleh moderator, Haikal Kamil Asmara dengan pertanyaan terkait pandangan peserta terhadap kekerasan yang marak menimpa jurnalis.

 

Salah satu anggota Korste, Dimas memberikan jawaban bahwa kekerasan terhadap jurnalis tidak dapat dinormalisasi dan merupakan hal yang melewati batas. Seharusnya pemerintah memastikan kebebasan bagi para jurnalis dalam bertugas yang telah tertuang di Undang Undang no. 40 Tahun 1999.

 

Fransisca atau yang akrab disapa Cica mengawali diskusi dengan mengutip terkait Homeless Media, yaitu individu yang dapat mendistribusikan informasi melalui media sosial. Media ini biasanya tidak memiliki website atau aplikasi resmi tersendiri, yang dimana hal ini mengacu pada kebebasan dan hak kita dalam bersuara terutama di media sosial. Kita selaku masyarakat dunia maya dapat memanfaatkan handphone kita untuk menyampaikan berita, informasi, dan fakta yang kita miliki untuk dibagikan kepada orang lain.

 

Cica juga membahas terkait Citizen Journalism harus berdasarkan kode etik jurnalistik. Setiap orang adalah jurnalis untuk menyampaikan berita dan informasi kepada orang lain sesuai dengan sumber yang akurat dan bersifat independensi.

 

Saat ini banyak kasus pemberitaan terkait kekerasan terhadap jurnalis, baik itu secara verbal ataupun nonverbal. “Mungkin media tidak di beredel. Tapi penyerangan saat ini langsung kepada individu” kata Cica. Salah satu bentuk dari kekerasan yang terjadi adalah doxing, yaitu bentuk pencurian atau pembocoran data pribadi tanpa sepengetahuan orang tersebut. Sebagaimana Cica sebutkan contoh dari temannya yang mengalami doxing hanya karena memberitakan Anies Baswedan, hal tersebut tentu merugikan kehidupan pribadinya dan kehidupan pekerjaannya.

 

Contoh lain disebutkan oleh Cica, yaitu seorang jurnalis dipukul saat meliput kegiatan hari buruh di Semarang oleh aparat. Hal ini menjadi bukti bahwa ancaman dan kekerasan terhadap jurnalis datang dari mana saja serta bertransformasi dari era ke era.

 

Dalam diskusi, Cica melemparkan pertanyaan kepada peserta tentang Garis Api. Malik, salah seorang anggota Korste menjelaskan bahwa garis api adalah pembatas antara urusan bisnis (pribadi) dengan media. Ketua dari Korste, Elin menambahkan jawaban dari Malik bahwa garis api adalah pembatas antara urusan marketing dan jurnalis.

 

Cica menjelaskan bahwa garis api juga diterapkan dalam Tempo, contohnya artikel berbau iklan dilarang dalam berita Tempo. Hal ini untuk menjaga bagian bisnis dan media tidak saling bercampur. Contoh penerapan garis api lain ditambahkan oleh Cica, yaitu ketika marketing sedang bekerja sama di Kementerian Kehutanan di era Jokowi dibatalkan karena berhubungan dengan promosi.

 

“Yang paling penting bagi sebuah media adalah kepercayaan publik, dengan salah satu caranya adalah menjaga garis api.” kata Cica. Independen, kritis dan dapat dipercaya adalah poin penting dari sebuah media. Karena sudah seharusnya media hanya memberitakan informasi, isu, dan kasus yang menyangkut kepentingan masyarakat.

 

Teror kepala babi merupakan salah satu bentuk kekerasan kepada jurnalis perempuan, karena stigma yang menganggap perempuan lemah masih melekat di pandangan publik. Cica merupakan salah satu dari beberapa jurnalis perempuan yang mendapatkan kekerasan, dia menceritakan bahwa terror tersebut sempat membuatnya trauma. Jurnalis senior Tempo itu juga dibantu teman dan rekan kerjanya untuk mengatasi trauma atas teror dan diberi jeda agar tidak terjun langsung ke lapangan.

 

Tujuan dari kekerasan kepada jurnalis adalah semata-mata untuk membuat seseorang menjadi takut, tunduk, dan tidak ingin menulis berita lagi. “Teror kepala babi dikirimkan kepada Tempo pada 19 Maret dan dibuka pada 20 Maret sore hari, dan hari Sabtunya Bocor Alus melakukan taping di malam hari membahas RUU TNI” kata Cica.

 

Tidak perlu khawatir dan takut jika kita selaku penyuara kebenaran mendapatkan terror, karena setiap jurnalis akan mendapatkan perlindungan. “Musuh terbesar jurnalis adalah ketakutan” jelas Cica.

 

Perasaan antara tahan banting dan berani, dengan tidak takut sama sekali harus diwaspadai. Contohnya dijelaskan Cica ketika dikirim untuk meliput tsunami di Palu. Di sana ia melihat mayat yang masih bergeletakan, perasaan yang timbul darinya berupa empati sebagai manusia.

 

“Kalau kamu tidak memiliki rasa takut dan empati maka kamu tidak bisa mengukur resiko” tegas Cica.

 

Dalam sesi tanya jawab, salah seorang peserta diskusi yang juga seorang jurnalis mengajukan pertanyaan “Untuk seorang wanita dapat diakui kapasitas dan kemampuan nya, apakah situasi dan kondisi jurnalistik telah bersikap ramah terhadap jurnalis perempuan?”

 

“Tempo sangat inklusif, karena memiliki ruang dan tempat bagi jurnalis dan pekerja perempuan. Sayangnya di tempat lain masih sangat jarang dan belum banyak ditemukan ruang bagi pekerja perempuan. Seringkali ditanyakan terkait hal sensitif seperti keperawanan dan bentuk tubuh kepada jurnalis perempuan.

 

Sesi tanya jawab dilanjutkan pertanyaan dari peserta lain, yaitu Nur Fadhia dengan pertanyaan nya “apa yang menjadi sesuatu yang pada akhirnya menguatkan jurnalis hingga sampai hari ini tetap menjadi seorang jurnalis?”

 

“Pada dasarnya menjadi jurnalis adalah perihal dari hati, datang dari sebuah keinginan untuk menyuarakan kebenaran. Itu yang membuat seseorang ingin tetap menjadi jurnalis, karena banyak penyimpangan yang terjadi dan ditutup-tutupi” jawab Cica.

 

Indeks kebebasan pers menurun 2x berturut-turut, disebabkan oleh oknum aparat dan pemerintahan, yang dimana hal tersebut tidak sesuai dan relevan dengan hukum kebebasan pers. Pernyataan Presiden Prabowo pada rapat dengan sejumlah menteri, “ini adalah urusan orang tua”, hal ini merupakan sebuah anggapan merendahkan pihak pers yang dimana seolah-olah seperti anak kecil, dan pemerintah adalah orang tua.

 

Pertanyaan terakhir sebelum ditutupnya sesi diskusi datang dari salah seorang anggota PersMa yang menanyakan “Bagaimana menanggapi orang yang memandang jurnalis sebelah mata? menanggapi respon dan kritik kepada jurnalis?”

 

“Ketika menjadi wartawan, kita harus menerima kaul kemiskinan, seorang wartawan tidak berada di industri bisnis” jawab Cica.

 

“Jangan berhenti jadi wartawan, karena menjadi wartawan datangnya dari hati kutipan dari Goenawan Mohamad yang disebutkan oleh Cica.

 

Wartawan adalah pekerjaan passion menjadi wartawan adalah bentuk kebebasan, sebuah pekerjaan untuk orang yang ingin bersuara, berekspresi, dan bekerja tidak untuk diri sendiri. Seorang wartawan bisa bertemu dengan pejabat tinggi negara, menteri, staf presiden, bahkan presiden itu sendiri. untuk menyuarakan suara dan keluhan dari rakyat kepada pemerintahan.

 

“Kita menghadapi hari sulit menjadi wartawan, di tengah banyak nya berita, isu, dan ketetapan yang menekan dari segala arah. kita berada pada satu kaum yang sama, menyuarakan fakta dan kebenaran untuk bersama. karena siapapun, boleh dan bisa menjadi wartawan. karena untuk menyampaikan kebenaran tidak perlu menjadi seorang wartawan” ucap Cica sebagai penutup sesi diskusi.