Politeknik Tempo - KORSTE, Jakarta — Komunitas Pers Politeknik Tempo(Korste) menghadiri undangan dari Ruang& di lantai delapan gedung Tempo dalam rangka diskusi bertemakan Menjaga Nyala: Jurnalis Perempuan, Kekerasan, dan Perjuangan Kolektif yang bertepatan dengan Hari Pers sedunia. Diskusi kali ini menghadirkan narasumber Francisca Christy Rosana selaku jurnalis yang telah bekerja hampir satu dekade di Tempo.
Acara
dibuka oleh MC Ruang&, Inge Meivi Fania dan Geovanni dengan mengenalkan
Ruang Perempuan dari Open Initiatives Day.
Acara dibuka oleh moderator, Haikal Kamil Asmara dengan pertanyaan terkait
pandangan peserta terhadap kekerasan yang marak menimpa jurnalis.
Salah
satu anggota Korste, Dimas memberikan jawaban bahwa kekerasan terhadap jurnalis
tidak dapat dinormalisasi dan merupakan hal yang melewati batas. Seharusnya
pemerintah memastikan kebebasan bagi para jurnalis dalam bertugas yang telah
tertuang di Undang Undang no. 40 Tahun 1999.
Fransisca
atau yang akrab disapa Cica mengawali diskusi dengan mengutip terkait Homeless Media, yaitu individu yang
dapat mendistribusikan informasi melalui media sosial. Media ini biasanya tidak
memiliki website atau aplikasi resmi tersendiri, yang dimana hal ini mengacu
pada kebebasan dan hak kita dalam bersuara terutama di media sosial. Kita selaku
masyarakat dunia maya dapat memanfaatkan handphone kita untuk menyampaikan
berita, informasi, dan fakta yang kita miliki untuk dibagikan kepada orang
lain.
Cica
juga membahas terkait Citizen Journalism
harus berdasarkan kode etik jurnalistik. Setiap orang adalah jurnalis untuk
menyampaikan berita dan informasi kepada orang lain sesuai dengan sumber yang
akurat dan bersifat independensi.
Saat
ini banyak kasus pemberitaan terkait kekerasan terhadap jurnalis, baik itu
secara verbal ataupun nonverbal. “Mungkin media tidak di beredel. Tapi
penyerangan saat ini langsung kepada individu” kata Cica. Salah satu bentuk
dari kekerasan yang terjadi adalah doxing, yaitu bentuk pencurian atau
pembocoran data pribadi tanpa sepengetahuan orang tersebut. Sebagaimana Cica
sebutkan contoh dari temannya yang mengalami doxing hanya karena memberitakan
Anies Baswedan, hal tersebut tentu merugikan kehidupan pribadinya dan kehidupan
pekerjaannya.
Contoh
lain disebutkan oleh Cica, yaitu seorang jurnalis dipukul saat meliput kegiatan
hari buruh di Semarang oleh aparat. Hal ini menjadi bukti bahwa ancaman dan
kekerasan terhadap jurnalis datang dari mana saja serta bertransformasi dari
era ke era.
Dalam
diskusi, Cica melemparkan pertanyaan kepada peserta tentang Garis Api. Malik,
salah seorang anggota Korste menjelaskan bahwa garis api adalah pembatas antara
urusan bisnis (pribadi) dengan media. Ketua dari Korste, Elin menambahkan
jawaban dari Malik bahwa garis api adalah pembatas antara urusan marketing dan
jurnalis.
Cica
menjelaskan bahwa garis api juga diterapkan dalam Tempo, contohnya artikel
berbau iklan dilarang dalam berita Tempo. Hal ini untuk menjaga bagian bisnis
dan media tidak saling bercampur. Contoh penerapan garis api lain ditambahkan
oleh Cica, yaitu ketika marketing sedang bekerja sama di Kementerian Kehutanan
di era Jokowi dibatalkan karena berhubungan dengan promosi.
“Yang
paling penting bagi sebuah media adalah kepercayaan publik, dengan salah satu
caranya adalah menjaga garis api.” kata Cica. Independen, kritis dan dapat
dipercaya adalah poin penting dari sebuah media. Karena sudah seharusnya media
hanya memberitakan informasi, isu, dan kasus yang menyangkut kepentingan
masyarakat.
Teror
kepala babi merupakan salah satu bentuk kekerasan kepada jurnalis perempuan,
karena stigma yang menganggap perempuan lemah masih melekat di pandangan
publik. Cica merupakan salah satu dari beberapa jurnalis perempuan yang
mendapatkan kekerasan, dia menceritakan bahwa terror tersebut sempat membuatnya
trauma. Jurnalis senior Tempo itu juga dibantu teman dan rekan kerjanya untuk
mengatasi trauma atas teror dan diberi jeda agar tidak terjun langsung ke
lapangan.
Tujuan
dari kekerasan kepada jurnalis adalah semata-mata untuk membuat seseorang
menjadi takut, tunduk, dan tidak ingin menulis berita lagi. “Teror kepala babi
dikirimkan kepada Tempo pada 19 Maret dan dibuka pada 20 Maret sore hari, dan
hari Sabtunya Bocor Alus melakukan taping
di malam hari membahas RUU TNI” kata Cica.
Tidak
perlu khawatir dan takut jika kita selaku penyuara kebenaran mendapatkan
terror, karena setiap jurnalis akan mendapatkan perlindungan. “Musuh terbesar
jurnalis adalah ketakutan” jelas Cica.
Perasaan
antara tahan banting dan berani, dengan tidak takut sama sekali harus
diwaspadai. Contohnya dijelaskan Cica ketika dikirim untuk meliput tsunami di
Palu. Di sana ia melihat mayat yang masih bergeletakan, perasaan yang timbul
darinya berupa empati sebagai manusia.
“Kalau
kamu tidak memiliki rasa takut dan empati maka kamu tidak bisa mengukur resiko”
tegas Cica.
Dalam
sesi tanya jawab, salah seorang peserta diskusi yang juga seorang jurnalis
mengajukan pertanyaan “Untuk seorang wanita dapat diakui kapasitas dan
kemampuan nya, apakah situasi dan kondisi jurnalistik telah bersikap ramah
terhadap jurnalis perempuan?”
“Tempo
sangat inklusif, karena memiliki ruang dan tempat bagi jurnalis dan pekerja
perempuan. Sayangnya di tempat lain masih sangat jarang dan belum banyak
ditemukan ruang bagi pekerja perempuan. Seringkali ditanyakan terkait hal
sensitif seperti keperawanan dan bentuk tubuh kepada jurnalis perempuan.
Sesi
tanya jawab dilanjutkan pertanyaan dari peserta lain, yaitu Nur Fadhia dengan
pertanyaan nya “apa yang menjadi sesuatu yang pada akhirnya menguatkan jurnalis
hingga sampai hari ini tetap menjadi seorang jurnalis?”
“Pada
dasarnya menjadi jurnalis adalah perihal dari hati, datang dari sebuah
keinginan untuk menyuarakan kebenaran. Itu yang membuat seseorang ingin tetap
menjadi jurnalis, karena banyak penyimpangan yang terjadi dan ditutup-tutupi”
jawab Cica.
Indeks
kebebasan pers menurun 2x berturut-turut, disebabkan oleh oknum aparat dan
pemerintahan, yang dimana hal tersebut tidak sesuai dan relevan dengan hukum
kebebasan pers. Pernyataan Presiden Prabowo pada rapat dengan sejumlah menteri,
“ini adalah urusan orang tua”, hal ini merupakan sebuah anggapan merendahkan
pihak pers yang dimana seolah-olah seperti anak kecil, dan pemerintah adalah
orang tua.
Pertanyaan
terakhir sebelum ditutupnya sesi diskusi datang dari salah seorang anggota
PersMa yang menanyakan “Bagaimana menanggapi orang yang memandang jurnalis
sebelah mata? menanggapi respon dan kritik kepada jurnalis?”
“Ketika
menjadi wartawan, kita harus menerima kaul kemiskinan, seorang wartawan tidak
berada di industri bisnis” jawab Cica.
“Jangan
berhenti jadi wartawan, karena menjadi wartawan datangnya dari hati kutipan
dari Goenawan Mohamad yang disebutkan oleh Cica.
Wartawan
adalah pekerjaan passion menjadi wartawan adalah bentuk kebebasan, sebuah
pekerjaan untuk orang yang ingin bersuara, berekspresi, dan bekerja tidak untuk
diri sendiri. Seorang wartawan bisa bertemu dengan pejabat tinggi negara,
menteri, staf presiden, bahkan presiden itu sendiri. untuk menyuarakan suara
dan keluhan dari rakyat kepada pemerintahan.
“Kita
menghadapi hari sulit menjadi wartawan, di tengah banyak nya berita, isu, dan
ketetapan yang menekan dari segala arah. kita berada pada satu kaum yang sama,
menyuarakan fakta dan kebenaran untuk bersama. karena siapapun, boleh dan bisa
menjadi wartawan. karena untuk menyampaikan kebenaran tidak perlu menjadi
seorang wartawan” ucap Cica sebagai penutup sesi diskusi.